Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Para Ahli

Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Para Ahli - Setiap manusia terus tumbuh dan berkembang tidak hanya dari fisik namun juga dari emosional dan sosialnya. Tulisan kali ini universitaspsikologi.com akan mengulas teori perkembangan sosial-emosional. Pada tulisan dibawah ini akan membahas perkembangan sosial emosional, dimensi sosial-emosional, tahapan perkembangan sosial sampai emosional individu, hingga faktor yang dapat mempengaruhi sosial emosional seseorang.

Pengertian Perkembangan Sosial-Emosional

Sosial-Emosional merupakan suatu proses yang dialami individu ketika berhubungan atau berinteraksi dengan individu lain, proses perubahan emosi serta perubahan kepribadian (Santrock, 2011). Menurut American Academy of Pediatric (dalam Nurmalitasari, 2015) mengatakan bahwa perkembangan sosial-emosional mengarah kepada kemampuan anak untuk memiliki pengetahuan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi dengan baik, mampu menjalin hubungan dengan anak-anak dan orang dewasa disekitarnya dan secara aktif mengeksplorasi lingkungan melalui belajar.

Menurut Campos, dkk (dalam Squires, 2003) emosi didefenisikan sebagai upaya seseorang individu untuk membangun atau mengubah hubungan antara inidvidu tersebut dengan lingkungannya. Kompetensi emosional melibatkan pengendalian emosi seseorang untuk mencapai bsuatu tujuan (Raver & Zigler, 1997). Kemudian menurut Raver & Zigler (1997) kompetensi sosial mencakup kemampuan anak untuk terlibat dalam hubngan yang positif baik dengan orangtua, teman sebaya, saudara kandung dan guru. Kemudian dari penjelasan tersebut disimpulkan oleh Squires (2003), bahwa perkembangan sosial-emosional pada anak usia dini didefenisikan sebagai perilaku pada kompetensi anak yang ditunjukkan dalam perilaku kooperatif dan prososial; inisiasi pemeliharaan hubungan teman sebaya dan orang dewasa; pengeolaan agresi dan konflik; pengembangan harga diri dan rasa penguasaan; dan regulasi emosi dan reaktivitas.

Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Para Ahli
Perkembangan Sosial-Emosional

Baca juga: Kenapa Seseorang Merasakan Kesepian?

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial-emosional adalah proses perubahan tingkah laku yang dialami oleh seorang anak, dimana anak mampu untuk berinteraksi dengan anak dan orang dewasa disekitarnya serta mampu mengekspresikan emosinya dengan baik.

Dimensi Perkembangan Sosial-Emosional

Squires, Bricker & Twombly (2002) membagi perkembangan sosialemosional anak usia dini kedalam tujuh dimensi yaitu:

1. Self-Regulation (Regulasi Diri)

Self-regulation merupakan kemampuan anak untuk menenangkan atau menyesuaikan diri dengan kondisi fisiologis, lingkungan dan stimulasi.

2. Compliance (Kepatuhan)

Compliance merupakan kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan arahan orang lain dan mengikuti aturan.

3. Communication (Komunikasi)

Communication merupakan kemampuan anak untuk menanggapi atau memulai sinyal verbal ataupun non-verbal untuk menunjukkan perasaan dan afektif.

4. Adaptive Functioning (Fungsi Adaptif)

Adaptive functioning merupakan keberhasilan atau kemampuan anak untuk mengatasi kebutuhan fisiologisnya seperti jam tidur, makan dan keselamatan diri.

5. Autonomy (Otonomi)

Autonomy merupakan kemampuan anak untuk memulai diri atau merespon tanpa adanya bimbingan. 

6. Affect (Perasaan)

Affect merupakan kemampuan anak untuk menunjukkan perasaannya sendiri dan empati terhadap orang lain.

7. Interaction with People (Interaksi dengan orang lain)

Interaction with people merupakan kemampuan anak untuk menanggapi atau memulai tanggapan sosial dengan orangtua, orang dewasa lainnya dan teman sebaya.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa perkembangan sosial-emosional anak usia dini terdiri dari tujuh dimensi yaitu self-regulation, compliance, communication, adaptive functioning, autonomy, affect, dan interaction with people.

Tahapan Perkembangan Sosial-Emosional

Tahapan perkembangan sosial-emosional anak usia dini menurut Erikson (dalam Santrock, 2011):

1. Tahap 1 Trust vs Mistrust

Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan. Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. Oleh karena anak sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak. Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan  dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.

2. Tahap 2 Autonomy vs Shame and Doubt

Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun. Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri. Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian. Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.

3. Tahap 3 Initiative vs Guilt

Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun. Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan raguragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.

Faktor Perkembangan Sosial-Emosional

Perkembangan emosional anak tidak selamanya stabil. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas emosi dan kesanggupan sosial anak, baik yang berasal dari anak itu sendiri maupun berasal dari luar dirinya. Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak menurut Setiawan (dalam Tirtayani, 2014) sebagai berikut:

1. Keadaan di dalam individu

Keadaan individu seperti usia, keadaan fisik, intelegensi, peran seks dan lain-lain (Harlock, 1991) dapat mempengaruhi perkembangan individu. Hal yang cukup menonjol terutama berupa cacat tubuh atau apapun yang dianggap oleh diri anak sebagai kekurangan akan sangat mempengaruhi perkembangan emosinya.

2. Konflik-konflik dalam proses perkembangan

Di dalam menjalani fase-fase perkembangan, tiap anak harus melalui beberapa macam konflik yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses, tetapi ada juga anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam menghadapi konflik-konflik ini. Anak yang tidak dapat mengatasi konflik-konflik tersebut biasanya mengalami gangguan emosi.

3. Sebab-sebab yang bersumber dari lingkungan

Anak-anak hidup dalam 3 macam lingkungan yang mempengaruhi perkembangan emosinya dan kepribadiannya. Ketiga faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan tersebut adalah:

1) Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan emosi anak-anak usia prasekolah atau usia dini. Di sanalah pengalamanpengalaman pertama didapatkan oleh anak. Keluarga sangat berfungsi dalam menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi. Bahkan secara lebih khusus, keluarga dapat menjadi emotional security pada tahap perkembangan anak. Keluarga juga dapat mengantarkannya pada lingkungan yang lebuh luas. Dasardasar pengelolaan emosi yang dimiliki anak akan menjadi efektif digunakan dalam menampilkan ekspresinya, terutama untuk kepentingan dan bersosialisasi dengan lingkungannya.

2) Lingkungan tempat tinggal 

Kondis lingkungan yang dapat mempengaruhi emosi anak antara lain:

  • Daerah tempat tinggal anak tergolong memiliki kerapatan penduduk yang terlalu padat.
  • Daerah dimana anak tinggal memiliki angka kejahatan yang tinggi
  • Daerah tempat anak tinggal kurang memiliki fasilitas rekreasi bagi anak-anak.
  • Tidak adanya aktivitas-aktivitas yang diorganisasi dengan baik untuk anak.

Pengalaman sosial awal di luar rumah melengkapi pengalaman di dalam rumah dan merupakan penentu yang penting bagi sikap sosial dan perilaku anak. Jika hubungan mereka dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah menyenagkan, mereka akan menikmati hubungan sosial tersebut dan ingin mengulanginya. Sebaliknya, jika hubungan itu tidak menyenangkan atau menakutkan, anak-anak akan menghindarinya dan kembali kepada anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Pengalaman sosial awal sangat menentukan perilaku selanjutnya. Banyaknya pengalaman bahagia yang diperoleh sebelumnya akan mendorong anak mencapai pengalaman semacam itu lagi pada perkembangan sosial selanjutnya. Sejumlah penelitian terhadap manusia dari semua tingkatan umur membuktikan bahwa pengalaman awal masa kanakkanak tidak hanya penting bagi anak, tetapi juga bagi perkembagan di kemudian hari.

3) Lingkungan sekolah

Sekolah mempunyai tugas membantu anak-anak dalam perkembangan emosi dan kepribadiannya dalam satu kesatuan, tetapi sekolah sering juga menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi pada anak. Kegagalan di sekolah sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan emosi anak. Problema di sekolah sering ditimbulkan oleh program yang tidak memperhatikan kemampuan anak. Lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan gangguan emosi dan menyebabkan terjadinya tingkah laku pada anak antara lain:

  1. Hubungan yang kurang harmonis antara anak dan guru
  2. Hubungan yang kurang harmonis dengan teman-teman

Hurlock (dalam Tirtayani, 2014), dalam mengungkapkan berbagai kondisi yang mepengaruhi perkembangan sosial-emosional anak, menyebutkan ada tiga kondisi utama yang sangat berpengaruh, di antaranya:

1. Kondisi fisik

Apabila kondisi keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan maka mereka akan mengalami emosi yang meninggi. Kondisi-kondisi fisik yang mengganggu adalah sebagai berikut:

  1. Kesehatan yang buruk, disebabkan oleh gizi yang buruk, gangguan pencernaan atau penyakit.
  2. Kondisi yang merangsang seperti kaligata atau eksim, penyakit kulit, termasuk rasa gatal, apalagi jika terdapat pada bagian-bagian yang terbuka akan menyebabkan si penderita menutup diri dan mungkin menjadi minder.
  3. Setiap gangguan kronis, seperti asma atau penyakit kencing manis. Penyakit kronis kadang membuat individu putus asa sehingga ingin mengakhiri hidupnya.
  4. Perubahan kelenjar, terutama pada masa puber. Gangguan kelenjer mungkin juga disebabkan oleh stress emosi yang kronis, misalnya pada kecemasan yang mengembang (free floating anxiety).

2. Kondisi Psikologis

Kondisi psikologis dapat mempengaruhi emosi, antara lain tingkat inteligasi, tingkat aspirasi dan kecemasan.

  • Perlengkapan intelektual yang buruk. Anak yang tingkat intelektualnya rendah, rata-rata mempunyai pengendalian emosi yang kurang dibandingkan dengan anak yang pandai pada tingkat umur yang sama.
  • Kegagalan mencapai tingkat aspirasi. Kegagalan yang berulang-ulang dapat mengakibatkan timbulnya keadaan cemas, sedikit atau banyak.
  • Kecemasan setelah pengalaman emosi tertentu yang sangat kuat. Sebagai contoh akibat lanjutan dari pengalaman yang menakutkan akan mengakibatkan anak takut kepada setiap situasi yang dirasakan mengancam.

3. Kondisi Lingkungan

Ketegangan yang terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyaknya pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan akan berpengaruh pada emosi anak. Ketegangan yang disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus. Ketegangan yang berlebihan secara disiplin yang otoriter. Sikap orangtua yang selalu mencemaskan atau terlalu melindungi. Susasana otoriter disekolah.

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.

Universitas Psikologi
Universitas Psikologi Media belajar ilmu psikologi terlengkap yang berisi kumpulan artikel dan tips psikologi terbaru hanya di universitaspsikologi.com | Mari kita belajar psikologi dengan cara yang menyenangkan.

Posting Komentar untuk "Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Para Ahli"