Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi

Daftar Isi
Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi - Motivasi adalah kekuatan yang memberi energi, dorongan dan mengarahkan perilaku ke tujuan. Di dalam belajar ada dua tipe motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Teori-teori yang akan di bahas di dalam artikel ini adalah teori-teori di dalam belajar seperti teori motivasi menurut Behavioral, Humanistik dan Kognitif akan di bahas di dalam artikel ini. Kemudian terakhir, masalah kecemasan disinggung karena kecemasan merupakan salah satu faktor afektif yang dapat mempengaruhi motivasi di dalam belajar.
Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi
image source: www(dot)tumblr(dot)com
Baca juga: Transfer dalam Belajar dalam Psikologi

Pengertian Motivasi Belajar

Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata latin movere, artinya “bergerak”. Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurang psikologis atau kebutuhan yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau insentif. Pengertian proses motivasi ini dapat difahami melalui hubungan antara kebutuhan, dorongan dan insentif (tujuan).
Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi
Gambar 1. The Basic Motivation Process
Motivasi menurut Eggen & Kauchack (2004) adalah suatu kekuatan yang memberi energi, dorongan dan mengarahkan perilaku ke tujuan. Para peneliti menemukan terdapat korelasi yang tinggi antara motivasi dan prestasi (Mc Dermott, dkk dalam Eggen & Kauchack, 2004).

Secara umum motivasi siswa adalah:
  • Memiliki sikap yang positif terhadap sekolah dan menggambarkan sekolah sebagai sesuatu yang mneyenangkan 
  • Bertahan pada tugas-tugas yang sulit dan memiliki sedikit masalah di dalam pelaksanaannya 
  • Pengalaman belajar yang unggul dan mendalam di dalam proses informasi

Siswa yang memiliki motivasi di dalam belajar akan berusaha untuk memahami topic-topik apakah mereka menemukan topik yang secara instrinsik menarik ataukah tidak menarik dalam proses belajar. Dan mereka akan tetap mempertahankan usahanya dengan keyakinan bahwa pemahaman akan memberikan hasil yang bernilai dan bermanfaat.

Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik

Motivasi di dalam belajar ada dua tipe, yaitu tipe motivasi intrinsik dan tipe motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi atau dorongan yang berasal dari dalam diri individu. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi atau dorongan-dorongan yang berasal dari luar diri individu. Motivasi ekstrinsik berupa: hadiah-hadiah/imbalan di dalam kelas.

Yang dimaksud dengan hadiah-hadiah atau imbalan di dalam kelas memiliki beberapa tipe yang dapat diberikan oleh guru dalam rangka memotivasi siswa. Ada hadiah atau imbalan jangka pendek dan hadiah atau imbalan jangka panjang. Hadiah yang digunakan sehari-hari biasanya pujian, perhatian, senyuman, feedback, dll. Hadiah yang dipakai tiap bulan misalnya nilai-nilai ulangan, surat yang positif terhadap wali murid, penghargaan, hak-hak istimewa. Hadiah yang dipakai setiap tahun misalnya nilai ujian akhir, beasiswa, dll.

Dengan demikian siswa termotivasi secara ekstrinsik untuk belajar sungguh-sungguh dalam ujian karena mereka meyakini bahwa belajar akan menghantarkan kepada hasil ujian yang tinggi atau mendapat pujian dari guru. Secara intrinsik, contohnya siswa termotivasi karena mereka ingin memahami isi dari apa yang dipelajari, dan mereka memandang belajar sebagai sesuatu hal yang berguna bagi diri mereka.

Peneliti menemukan bahwa siswa secara instrinsik termotivasi oleh aktivitas atau pengalaman sebagai berikut:
  • Adanya tantangan. Tujuannya adalah kesulitan menegah, dan kesuksesan bukan jaminan 
  • Memberikan siswa pengendalian. Siswa merasa bahwa gagasan/pemikiran mereka memiliki pengaruh terhadap belajar 
  • Menimbulkan keingintahuan. Pengalaman-pengalaman merupakan sesuatu yang menakjubkan, atau ketidaksesuaian dengan pemikiran siswa yang ada. 
  • Meliputi fantasy. Pengalaman membiarkan siswa untuk membangun keyakinan 

Ditambah lagi beberapa peneliti menambahkan bahwa pengalaman dengan nilai estetik---yang dapat menimbulkan reaksi emosional dan terutama diasosiasikan dengan keindahan/kecantikan---dimungkinkan secara instrinsik memotivasi dengan baik.

Tipe dari pengalaman motivasi tergantung pada konteks di mana mereka, dan motivasi mereka dapat berubah sepanjang waktu. Tantangan, pengendalian (kontrol), keingintahuan, fantasi dan nilai estetik seluruhnya dapat mengembangkan motivasi intrinsik.

Teori-teori Motivasi

Dalam artikel ini kita akan memahami beberapa teori motivasi belajar, yang kenyataannya menurut Eggen & Kauchack (2004) bahwa belajar dan motivasi adalah saling terkait di mana seseorang tidak dapat benar-benar memahami pelajaran tanpa mempertimbangkan motivasi.

Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi
Gambar-2. Extrinsic and Intrinsic Motivation

Motivasi Menurut Pandangan Behavioral

Perspektif behavioral menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi siswa. Insentif adalah peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku siswa. Dengan pengertian bahwa motivasi menurut pandangan teori behavioral adalah suatu perubahan di dalam perilaku sebagai hasil pengalaman dengan lingkungan. Meningkatnya perilaku penguatan, akan dapat meningkatkan motivasi. Secara umum, pujian terhadap hasil tugas siswa, hasil skor yang tinggi, dan nilai yang bagus adalah penguat yang umum terjadi di kelas.

Penguat yang dipakai guru di kelas antara lain nilai yang baik, yang memberikan indikasi tentang kualitas pekerjaan siswa, pujian jika mereka menyelesaikan suatu tugas dengan baik, memberi penghargaan atau pengakuan pada siswa---contohnya, memamerkan karya mereka, mengumumkan prestasi dan sebagainya. Adapun penguat secara instrinsik dapat memotivasi, tetapi dampaknya tidak otomatis tergantung pada harapan, keyakinan, atau apapun yang dipikirkan oleh siswa.

Motivasi Menurut Pandangan Humanistic

Motivasi menurut pandangan humanistic adalah usaha individu untuk memaksimalkan seluruh potensinya sebagai manusia. Setiap individu memiliki needs (kebutuhan, dorongan intrinsic dan ekstrinsic factor), yang pemunculannya sangat terkait dengan kepentingan individu. Dengan kenyataan ini, kemudian Maslow membuat “need hierarchy theory” untuk menjawab tentang tingkatan kebutuhan manusia. Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan individual harus dipuaskan dalam urutan sebagai berikut:
  • Fisiologis: lapar, haus, tidur 
  • Keamanan (safety): bertahan hidup, seperti perlindungan dari perang dan kejahatan 
  • Cinta dan rasa memiliki: keamanan (security), kasih sayang, dan perhatian dari orang lain 
  • Harga diri: menghargai diri sendiri 
  • Aktualisasi diri: realisasi potensi diri 

Setiap kebutuhan dalam tata tingkat harus dipuaskan menurut tingkatannya. Ketika kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan berikutnya dalam hirarki selanjutnya akan mulai memotivasi perilaku.

Kepentingan teori hirarki kebutuhan Maslow dalam dunia pendidikan berada dalam tingkat rendah dan kebutuhan tingkat tinggi. Jelasnya, para siswa yang sedang dalam keadaan sangat lapar atau fisiknya tidak sehat, akan memiliki energi psikologis yang terbatas untuk belajar. Di beberapa sekolah, kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah yang terpenting adalah kebutuhan akan cinta dan harga diri.

Jika para siswa merasa bahwa mereka tidak dicintai dan tidak mampu, mereka tidak mungkin memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sasaran-sasaran pertumbuhan yang lebih tinggi. Seorang guru yang dapat menempatkan para siswa pada tempatnya, membuat mereka merasa diterima dan dihormati sebagai individu, lebih mungkin (menurut pandangan Maslow) mendorong mereka untuk kreatif dan terbuka terhadap ide-ide baru.

Motivasi Menurut Pandangan Cognitive

"Ayo pergi," Melani mendesak temannya Yelena, ketika Yelena sedang menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

"Sebentar lagi," Yelena berkomentar. "Saya hanya ingin mengetahui bagaimana cara menghitungnya. Saya tidak mengetahui kenapa saya tidak faham untuk yang satu ini. Saya rasa saya belum berfikir dengan benar, semuanya sudah saya pahami, tetapi jawabannya masih salah."

"Nanti saja kerjakan Pr-nya malam. Semua orang juga tidak mengerjakan sekarang," Melani berkomentar.

"Duluan saja, Saya akan menyusul kamu dalam beberapa menit. Saya tahu bahwa saya dapat menemukannya ……saya hanya belum mendapatkannya saja sekarang."

Behaviorisme memberikan pengetahuan mengenai tingkah laku, meski jawaban yang benar menjadi penguat. Tetapi di dalam behaviorisme ia tidak mempertimbangkan keyakinan dan harapan. Jika kita menelaah potongan dialog di atas, yaitu komentar Yelena berkaitan dengan: “Saya mengetahui bahwa Saya akan mendapatkan jalan keluarnya,” hal ini mengindikasikan bahwa dia meyakini akan dapat mengatasi ketidaktepatannya dan berharap dapat menyelesaikannya.

Dia bertahan karena dia memiliki keyakinan dan harapan, bukan karena penguat masa lalu. Teory Humanistic mengatakan bahwa intelektual Yelena memiliki kebutuhan untuk berprestasi daripada Melani. Kita belajar teori kognitif dari motivasi karena menunjukkan pentingnya aspek-aspek perilaku motivasi yang tidak dapat diterangkan oleh pandangan behaviorism dan humanistic.

Teori kognitif dari motivasi terfokus pada keyakinan, harapan dan kebutuhan siswa untuk kenyamanan, kemungkinan memprediksi dan memahami. Kita dapat melihat pengaruh dari keyakinan dan harapan dalam perilaku Yelena, dan kebutuhan untuk memahami adalah bagian pokok dalam teori motivasi kognitif: “anak nampak secara alami termotivasi untuk belajar ketika pengalaman mereka tidak konsisten dengan pemahaman sekarang atau ketika pengalaman mengenai informasi yang biasa tersimpan belum dihadirkan oleh skemata. Teori kognitif menyatakan bahwa setiap individu dimotivasi oleh kebutuhan untuk memahami dan membuat pemahaman akan dunia sekitar.

Dalam modul ini akan dibahas beberapa teori dari teori kognitif, yaitu: teori expectancy x value theory, self efficacy theory, dan attribution theory.

Expectancy x Value Theory

Expectancy x Value Theory menyatakan bahwa individu menggunakan motivasi di dalam aktivitas ketika mereka memandang adanya kesempatan sukses dan nilai dari kesuksesan.

Penerapan teori ini adalah bahwa motivasi seseorang untuk mencapai sesuatu tergantung pada penilaian tentang harapan kesuksesan dan penilaian akan akibat atau perolehan yang diberikan dari kesuksesan. Artinya jika seseorang sudah yakin bahwa ia akan sukses dan mengetahui arti kesuksesan itu bagi dirinya, maka motivasinya akan tinggi.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki suatu harapan dapat berprestasi tinggi, dan jika ia menduga bahwa dengan tercapainya prestasi yang tinggi ia akan merasakan akibat-akibat yang diharapkan, maka ia memiliki motivasi yang tinggi untuk berprestasi. Sedangkan beberapa siswa yang memiliki prestasi yang rendah akan menghalangi diri mereka sendiri untuk tidak mencoba-coba. Kegagalan yang terulang hasil dari harapan kesuksesan yang begitu rendah mengakibatkan motivasinya juga sangat rendah.

Self-Efficay: Keyakinan Terhadap Kemampuan

Self efficacy adalah keyakinan mengenai kemampuan diri untuk melaksanakan dan mengorganisasikan suatu kegiatan dengan berhasil sehingga berdampak pada usaha-usaha dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan. Contoh, siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi mengenai matematika, maka ketika dihadapkan dengan serangkaian permasalahan berkaitan dengan system dari persamaan, dia yakin akan mampu mengatasinya.

Factor yang Mempengaruhi Self-Efficacy
Ada empat factor yang dapat mempengaruhi keterampilannya berturut-turut terhadap tugas yang spesifik:
  • Past performance (prestasi masa lalu) di dalam tugas yang sama adalah sangat penting. Kesuksesan yang pernah terjadi akan dapat meningkatkan self efficacy di masa yang akan datang. 
  • Modeling. Mengamati modeling dari orang lain, dapat meningkatkan self efficacy karena dapat meningkatkan harapan dan memberikan informasi mengenai bagaimana keterampilan seharusnya ditingkatkan. 
  • Verbal persuasion seperti pujian, “ Saya tahu kamu akan memberikan report yang baik” dapat juga meningkatkan self efficacy. Mungkin hal ini tidak memiliki dampak secara langsung, melainkan jika siswa sukses maka effikasi akan meningkat. 
  • Faktor psikologis, seperti capek atau lapar, dapat mengurangi efficacy meskipun tidak ada kaitannya dengan tugas, keadaan emosional seperti kecemasan, dapat mengurangi efficacy karena working memory (short term memory) dipenuhi dengan pemikiran mengenai kegagalan. 

Pengaruh Self-Efficacy dalam Perilaku Belajar

Siswa yang meyakini memiliki kemampuan ---yang memiliki efficacy diri yang tinggi---berharap dapat mengerjakan sesuatu, maka harapan ini sangat kuat mempengaruhi motivasinya. Contoh, siswa yang memiliki efficacy diri yang tinggi akan menerima tugas yang memiliki tantangan, menggunakan banyak usaha, dapat berertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, menggunakan strategi yang fektif, dan secara umum prestasinya lebih baik daripada siswa yang tidak memiliki efikasi diri yang tinggi.

Teori Atribusi

Teori Atribusi adalah teori kognitif mengenai motivasi yang berusaha secara sistematis memberikan gambaran mengenai kesuksesan dan kegagalan siswa. Winner (dalam Glover, dkk 1999) menjelaskan bahwa kebanyakan keberhasilan atau kegagalan memiliki tiga dimensi. Pertama, apakah penyebabnya itu internal atau eksternal. Kedua, memandang dari segi stabilitas penyebab (apakah penyebab dianggap sebagai hal yang tetap/tidak dapat berubah atau tidak tetap/dapat berubah).

Ketiga, adalah apakah penyebabnya dirasakan sebagai hal yang dapat mengontrol atau tidak. Asumsi pokok dari teori atribusi yakni orang-orang akan berusaha mempertahankan citra dirinya yang positif. Oleh karena itu bila hal yang baik terjadi, mereka menghubungkannya dengan usaha-usaha atau kemampuannya sendiri, namun bila hal yang buruk terjadi, mereka menganggap bahwa hal itu karena faktor-faktor di luar kontrol mereka.

Teori atribusi terutama berkaitan dengan empat penjelasan terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian prestasi: kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan keberuntungan. Atribusi-atribusi kemampuan dan usaha sudah ada di dalam diri individu (faktor internal), atribusi-atribusi kesulitan tugas dan keberuntungan adalah faktor eksternal.

Kemampuan dianggap sebagai sebagai suatu keadaan yang relatif tetap, tidak dapat dirubah; usaha dapat dirubah. Demikian pula, tingkat kesukaran pada dasarnya merupakan suatu yang tetap, sementara keberuntungan adalah tidak tetap dan tidak dapat diprediksi. Karakteristik atribusi dalam kaitannya dengan tiga dimensi atribusi:

Suatu konsep pokok dalam teori atribusi adalah locus of control. Kata “locus” berarti lokasi. Seseorang yang memiliki internal of locus control adalah orang yang yakin bahwa keberhasilan atau kegagalan adalah karena usaha-usaha tau kemampuannya sendiri. Seseorang yang memiliki eksternal locus of control meyakini keberhasilan atau kegagalannya disebabkan oleh faktor lain. Locus of control sangat penting di dalam menjelaskan pelaksanaan tugas-tugas sekolah seorang siswa.

Contoh, para siswa tinggi "internal of locus controlnya" memiliki nilai-nilai dan skor tes yang lebih bagus daripada siswa yang rendah locus of control. Brooker (dalam Glover, 1999) mengemukakan bahwa locus of control merupakan prediktor terpenting terhadap pretsasi akademik siswa. Karena siswa yang yakin bahwa keberhasilan sekolah karena keberuntungan, tingkah-tingkah guru, atau faktor-faktor eksternal lainnya, tidak mungkin bekerja keras. Sebaliknya, para siswa yang yakin bahwa keberhasilan dan kegagalannya karena usaha-usaha mereka sendiri maka mereka akan bekerja keras (karena mereka ingin berhasil).

Dampak Attribusi pada Siswa

Attribusi dapat mempengaruhi siswa sedikitnya dalam empat hal, yaitu:
  • Reaksi emosional untuk kesuksesan dan kegagalan 
  • Harapan untuk kesusesan di masa yang akan datang 
  • Usaha di masa yang akan datang 
  • Prestasi 

Berdasarkan hasil penelitian yang dikutip dari Eggen & Kauchack (2004) diketahui bahwa individu cenderung mengatribusi kesuksesan kepada sebab internal, seperti kerja keras atau kemampuan yang tinggi, dan kegagalan kepada sebab eksternal, seperti kurang beruntung atau perilaku lain. Ketika siswa melakukan dengan buruk, contohnya, secara umum mereka mengatribusikan kegagalan kepada keburukan pengajaran, topic yang membosankan, tes yang rumit, atau beberapa sebab eksternal lainnya.

Kecemasan

Kecemasan sebagai salah satu faktor affektif di dalam motivasi adalah perasaan takut dan kegundahan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan. Adalah normal jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian. Sumber utama kecemasan yang dialami siswa di sekolah adalah adanya rasa takut akan mengalami kegagalan. Dengan adanya kekhawatiran seperti itu meyebabkan harga diri siswa rendah atau hilang. Siswa yang berprestasi rendah dan tinggi sama-sama mengalami kecemasan, tetapi sumber utama kecemasan akan berbeda-beda.

Para peneliti telah menemukan bahwa banyak siswa sukses punya kecemasan pada level moderat (Bandura dalam Santrock, 2007). Sedangkan siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi dan konstan, bisa mengganggu kemampuan mereka untuk meraih prestasi.

Ada beberapa hal yang dapat mengurangi akibat-akibat kecemasan dalam proses pembelajaran, yaitu dengan menciptakan suasana kelas yang dapat diterima, yang nyaman dan adanya sikap saling membantu mengurangi kecemasan siswa dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melengkapi jawabannya dan megorekasi kembali sebelum diserahkan.

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Teori Motivasi dan Motivasi Belajar Menurut Aliran Psikologi. Semoga bermanfaat.
Universitas Psikologi
Universitas Psikologi Media belajar ilmu psikologi terlengkap yang berisi kumpulan artikel dan tips psikologi terbaru hanya di universitaspsikologi.com | Mari kita belajar psikologi dengan cara yang menyenangkan.

Posting Komentar