Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akibat Bencana dalam Psikologi pada Kelompok Rentan

Akibat Bencana dalam Psikologi pada Kelompok Rentan - Pembelajaran kali ini Universitas Psikologi akan menyajikan artikel psikologi tentang akibat yang dihasilkan bencana pada kelompok-kelompok rentan. Sebagai refrensi tambahan anda akan dijelaskan cara melindungi sebuah kelompok rentan dalam tulisan bahasa inggris.

Kelompok rentan sering disebut "kelompok dengna kebutuhan khusus", "kelompok yang beresiko", "beresiko karena kondisi fisik, psikologis, atau kesehatan social" setelah bencana. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam persiapan menghadapi bencana, namun jarang yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, adapun orang yang disebut sebagai kelompok rentan adalah (1) orang dengan kebutuhan khusus baik secara fisik ataupun psikologis, (2) wanita, (3) anak-anak, (4) orang tua, (5) orang dipenjara, (6) SES minoritas dan orang yang mengalami kendala bahasa.
Akibat Bencana dalam Psikologi pada Kelompok Rentan
image source: www(dot)theguardian(dot)com
Baca juga: Karakteristik dan Assesment Prilaku Abnormal serta Sejarah Psikopatologi

Kelompok Rentan

Individu yang mengalami bencana bereaksi terhadap bencana sesuai dengan caranya masing-masing dan antara satu individu dengan yang lainnya sangat berbeda. Setiap bencana memiliki dampak demografik tertentu, budya, dan riwayat kejadian sebelumnya.

Individu dengan kebutuhan khusus

Bencana dalam skala yang besar akan menyebabkan individu cacat baik secara fisik ataupun psikologis yang menyebabkan rasa tidak berdaya. Bantuan dari pemerintah yang terlalu cepat dan kurang tepat sasaran untuk kelompok rentan setelah bencana sehingga tidak bisa menjangkau seluruh orang dengan keterbatasan fisik, seperti: orang dengan gangguan pendengaran tidak dapat mengerti instruksi evakuasi yang diberikan, ataupun orang yang mengalami gangguan penglihatan tidak dapat melihat instruksi yang diberikan melalui tv, brosur atau yang lainnya.

Ketika bencana tersedia ketersedian transportasi untuk mengangkut kursi roda, ataupun tempat penampungan yang menyediakan pelayanan medis untuk orang dengan kebutuhan khusus belum begitu tepat dan kurang menjadi prioritas karena kasus/ permasalahan mereka yang tidak gampang. Setelah bencana akan sangat sulit bagi individu mencari tempat tinggal, pelayanan ataupun sekolah/tempat bekerja yang tepat.

Orang-orang dengan kebutuhan khusus psikologis (mental disabilities) juga mengalami hal yang sama. Ketika evakuasi berlangsung mungkin para relawan salah mengartikan perilaku mereka atau orang-orang dekan kebutuhan khusus psikologis kurang nyaman dengna relawan. Permasalahan lainnya adalah penolakan dari tempat penampungan dengan alasan tidak kurangnya fasilitas untuk kebutuhan mereka. Ada juga mendapatkan perlakuan yang kurang tepat karena ketidakmampuan mereka untuk mengikuti instruksi yang diberikan dan di masukkan ke dalam rumah sakit sebagai solusi yang lebih gampang. Lebih lanjut, kondisi bencana bisa mengganggu homeostatis dan coping mereka yang sudah berjalan sesuai dengan polanya. Untuk individu yang pernah mengalami PTSD, kejadian bencana dapat menjadi trigger akan peristiwa sebelumya.

Tanpa adanya perencanaan dan antisipasi yang pasti terhadap kelompok ini maka kelompok ini tidak akan bisa tercover secara baik ketika bencana sedang berlangsung yang berdampak pada penderitaan.

Orang Tua

Orang tua sering dilihat sebagai orang yang sudah menjalani kehidupan, tahu harus apa yang dilakukan sehingga ketika bencana datang ada asumsi yang menyatakan bahwa mereka lebih mampu menghadapi apa yang terjadi dibandingkan dengan yang lainnya. Sebaliknya riset menunjukkan bahwa orang tua berada pada 3 teratas kelompok rentan dalam bencana.

Seseorang yang usianya di atas 65 tahun besar kemungkinan untuk mengalami penyakit kronis, seperti: hipertensi, jantung, diabetes dll. 80 % dari kelompok ini memiliki penyakit kronis, dan 50% memiliki komplikasi. Orang tua juga mengalami gangguan gerak, kognisi, sensori, social dan keterbatasan dari segi ekonomi (Massey, 1997). Semuanya dapat mempengaruhi proses adaptasi dan kemampuannya berfungsi selama bencana. Implikasinya adalah orang tua ini menjadi sangat sensitive, overwhelming, gangguan tidur, disorientasi, depresi dan trauma. Setelah selesai bencana bisa saja kondisi fisik mereka menurun karena kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar dengan infeksi, interupsi dari treatment medis, dan gangguan emosional.

Wanita

Wanita termasuk kelompok rentan karena peran social dan karakteristik fisiknya yang menyebabkan kecelakaan dan rasa berduka yang lebih dibandingkan pria. Contoh: wanita lebih merasa kehilangan property dibanding pria karena kegiatan wanita lebih banyak di rumah dan melakukan kegiatan perekonomian informal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara pria lebih mudah untuk pindah dan menemukan pekerjaan (Bradshaw, 2004 ; Enarson, 2000 ). Berkurang atau hilangnya dukungan social pada wanita dapat mempengaruhi kondisi psikologinya. Faktor lainnya yang menyebabkan wanita lebih rentan adalah kondisi psikologis sebelum bencana seperti: trauma exposure, kondisi kesehatan mental yang kurang stabil dan rendahnya SES.

Lebih lanjut, wanita hamil di dalamnya. Seperti: bisa terjadi kelahiran premature, bayi yang kurang berat badan, ataupun bayi yang meninggal. Sebagian wanita harus melahirkan di rumah sakit yang minim fasilitas kesehatannya, kurangnya vitamin untuk kehamilan, rekam medis yang tidak tersedia. Relawan yang kurang menyadari kalau ada wanita hamil di antar kerumunan para penyintas maka bisa diberikan vaksin sebagaimana orang lainnya.

Anak-anak

Anak-anak termasuk kelompok rentan karena kemungkinan mereka untuk cedera besar dan ketergantungan mereka terhadap kebutuhan sandang, pangan dan emosional masih sangat besar. Secara psikologis, kondisi kognisi yang belum berkembang optimal seperti orang dewasa ditambah lagi strategic coping dalam menangani permasalahan. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang terkena ledakan cenderung menjadi trauma ketika mereka dewasa. Lebih lanjut, perbedaan fisiologis antara anak dengan orang dewasa sepeprti: ukuran badan yang lebih kecil, ukuran ketebalan kulit, ventilasi, kebutuhan oksigen dll. Hal ini menyebabkan anak-anak gampang mengalami dehidrasi, kurang gizi dan lebih cepat lelah dan rentan untuk terinfeksi kuman dan virus.

Lebih lanjut, dalam situasi emergency anak juga memiliki kebutuhan psikologis dan social didasarkan pada kemampuan kognisinya, kerapuhan pribadi, dan dukungan anggota keluarga yang tersedia. Anak-anak sebagai kelompok rentan membutuhkan perhatian khusus selama bencana. Ketika anak terkena dampak bencana reaksi mereka sangat bermacam-macam, mulai dari stress, trauma, rasa kehilangan dll. Kadang dalam satu kejadian bencana anak bisa mengalami satu atau lebih reaksi psikologis pada dirinya. Anak juga bisa menampilkan hal yang tidak dialaminya. Contoh: anak kelihatan tegar dan tidak menampakkan kesedihannya karena mereka menyembunyikannya karena tidak ingin mengecewakan atau menyusahkan orangtuanya (Dermott and Palmer, 1999).

Narapidana yang di penjara

Karena status mereka sebagai tahanan, sehingga mereka sangat tergantung dengan pemerintah sebagai pemegang otoritas. Narapidana tidak dapat melakukan evakuasi sendiri, mencari pertolongan medis sendiri, ataupun mencari makanan ataupun tempat penampungan sendiri. Lebih lanjut, dalam situasi bencana yang sanat besar, kalau narapidana melakukan semuanya sendiri ada kemungkinan penyerangan yang dilakukan oleh sesama anggota narapida ataupun penyerangan kepada masyarakat.

Social Economic Status (SES) minoritas dan orang yang mengalami kendala bahasa

Kelompok dengan SES rendah yang tidak memiliki asuransi untuk mengcover kondisi mereka setelah bencana sehingga membuat beban psikologis menjadi lebih berat. Kelompok dengan kendala bahasa juga sangat susah dalam mengkomunikasikan hal-hal apa yang mereka butuhkan sehingga relawan bisa membantu secara cepat dan tepat.
Keluarga yang sebelumnya sejahtera dan mengalami kebangkrutan karena kejadian bencana dan menerima bantuan dari orang lain juga rentan untuk mengalami stress akibat bencana.

Penduduk asli setempat (Indigenous people)

Indigenous people termasuk kelompok rentan karena status mereka sebagai orang pinggiran yang termarginalkan, kondisi fisik dan rumah yang tidak baik, problem terkait dengan kehilangan budaya dan kesedihan yang dapat menyebabkan stress dan trauma. Mereka juga mungkin akan dipindahkan dari “tempat penting” menurut budaya mereka.

Pengungsi dan migran

Riset sebelumnya menunjukkan bahwa pengungsi yang berasal dari Negara lain rentan untuk terkena PTSD ketika terjadi bencana. Namun penelitian terbaru menunjukkan hal yang bertolak belakang bahwa PTSD dikalangan pengungsi rendah meskipun menghadapi berbagai macam kejadian traumatis. Hal ini karena adanya dukungan yang tepat membuat mereka bisa settle di Negara baru mereka, dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat di Negara baru mereka (Silove, 1999; Silove et al, 1993). Jadi hanya pengungsi minoritas saja yang mengalami hal-hal terkait dengan PTSD dan depresi.

Faktor Resiko dan Pelindung pada Kelompok Rentan

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai faktor resiko seperti jenis kelamin, SES, perpisahan dengan orang yang disayangi, diskriminasi dan prejudice pada Negara baru (host country), usia, efek dari kejadian bencana, paparan (exposure) ke bencana dan sejarah gangguan psikologi sebelumnya. Agama, keyakinan, kepastian politik dan persiapan terhadap bencana merupakan faktor pelindung untuk kelompok rentan.

Efek dari Bencana

Karakteristik yang mempengaruhi rasa trauma: 1) rasa horror yang terjadi ketika melihat even/kejadian tersebut, 2) durasi dari bencana, 3) kejadian yang tidak diharapkan (kejadian yang tidak ada peringatannya berdampak lebih besar pada kondisi psikologis seseorang), 4) rasio dampak bencana, ancaman yang dilihat dari: rasio akibat bencana, kehilangan yang diakibatkan oleh bencana pada level komunitas, 5) perubahan sosial kultur seperti kegiatan dalam keseharian, kontrol terhadap kejadian, dukungan sosial setelah bencana, 6) simbolism dari kejadian bencana (cara memaknai kejadian antara “kehendak Tuhan” atau “manusia”), 7) kemampuan memanage stress, 8) akumulasi dari sebelum dan sesudah bencana, seperti kepribadian seseorang ataupun kondisi emosi individu tersebut.

Stress yang ditimbulkan oleh bencana dapat membuat seseorang berkabung, terluka, mengancam kehidupan, ketakutan, panic selama bencana, horror dan perpisahan dengan keluarga, relokasi dan kerugian finansial. Dari kesemuanya, faktor terluka dan ancaman terhadap kehidupan biasanya memiliki efek yang lebih lama secara psikologis. Lebih lanjut, lokasi bencana juga mempengaruhi keprahan dari stress itu sendiri. 25% dari sampel di Negara Amerika terkena dampak psikologis yang berat, 48 % di Negara berkembang lainnya selain Amerika, 70% di Negara yang sedang berkembang. Hal ini dikarenakan pada Negara berkembang para penyintas atau survivor harus mampu merecover dengan sumber yang terbatas.

Lebih lanjut, level dari penyintas ketika terjadi bencana juga sangat berperngaruh dan kondisi trauma yang terjadi sebelum bencana juga mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Hasil penelitian dari North et al (1999) menemukan bahwa korban dari pemboman kota Oklahoma lebih mungkin untuk mengalami PTSD kembali terkait dengan pengeboman, sekitar 46% dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengalami kejadian pemboman. Tipe dari bencana juga mempengaruhi kondis psikologis seseorang (contoh: natural VS teknologi) ada yang berpendapat bahwa bencana yang ditimbulkan dari teknologi lebih berdampak jangka panjang terhadap individu yang berujung pada perbedaan intervensi.

Berikut adalah bahan bacaan tambahan bukan tulisan tulisan dari Bizzari,

Protection of Vulnerable Groups

in Natural and Man-Made Disasters

Mariangela Bizzarri

Abstract
Disasters do not affect all people evenly. Some people end up paying a higher price due to pre-existing conditions that influence their vulnerability. Among the key factors that determine how people are affected by disaster and able to cope with it are gender, age, disability, race, or ethnicity. Thus, women, chil-dren, older persons, people with disability and minorities, and indigenous groups are widely recognized as particularly vulnerable and in need of specific protection in disaster situation. Protection of vulnerable groups is grounded in various international human rights laws and standards. For each category of vulnerable population this chapter offers an overview of the main protection concerns com-monly found in both man-made and natural disasters, the normative frameworks that provide for their protection as well as a review of the practice in disaster situations. The analysis reveals inconsistencies in relation to the amount and the extent to which international norms are actually applied across the whole disaster management cycle, that result in significant disparities in the way the needs and concerns of different categories of people are recognized and addressed. Among all, older people have received the least attention, followed by persons with dis-ability, minorities, and indigenous groups. Lack of disaggregated data that provide evidence and guide response to the different needs and constraints different people face is one of the biggest challenges to the protection of vulnerable groups in disaster situations. Overall, despite significant advances in the past years, sensi-tivity to diversity and inclusiveness continues to be mostly a theoretical com-mitment rather than a practice in disaster management.

Women

While the poor are hit hardest, it is usually women and children within these groups that suffer the most in disaster situations. Not only in disasters the death toll is generally higher for women, they also endure rape and other forms of violence, property loss, and other abuses of their rights. Globally, for every one man who dies in a flood, there are 3–4 women who die.

Women tend to be generally less mobile, have less access to resources such as information, networks, and transportation, and are less likely to participate in the public sphere in which relief is organized and delivered. Their specific needs may be overlooked if relief efforts are targeted to household heads, and their contributions to reconstruction and recovery not valued. Hence, the importance of including them throughout the disaster cycle from preparedness, to response, and recovery.

Children

The less developed physical and mental state of children as well as their social condition and dependency on adults negatively affect their ability to survive the danger or to cope with the consequences of it. Outbreaks of disease following disasters hit children the hardest. Poor water, sanitation and drainage facilities, overcrowding, and the paucity of healthcare services all heighten the risk of children contracting diseases, especially if already malnourished.

Older People

The term ‘old age’ identifies people over 60 years of age. Older people comprise approximately 11 % of the world population and are expected to reach 22 % by 2050. Given that roughly one in ten people is aged over 60, of the 208 million people affected by disaster in 2010, more than 20 million are estimated to be older people.

Limited mobility, chronic diseases as well as special nutritional needs cansignificantly constrain older people’s ability to escape from harm, access aid, and cope with the hardship that results from disasters. Compared to other groups, older people suffer from a general neglect in both international laws and disaster policies and practice. It is not uncommon for aid agencies to assume mismatching priorities to respond to older people’s needs.

Persons with Disabilities

According to estimates, more than half a billion people with disabilities live in countries at risk of conflicts or emergencies caused by disasters. While a specific definition of disability is missing, reference is made to persons who have long-term physical, mental, intellectual, or sensory impairments, which, in interaction with various barriers, may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others. Disability and poverty are linked in a vicious cycle. Among the poorest in the world, between 15 and 20 % have some kind of disability. Poor people tend to have less access to health care and to work in hazardous conditions, which further increase the risk of injury and impairment.

Among displaced population, persons with disabilities are amongst the most hidden, marginalized, and isolated. Abandonment by family members and caretakers is a common practice in times of hardship, often leading to further destitution. Throughout history many societies have dealt poorly with disability, with social, cultural, and religious beliefs contributing to discrimination, stigmatization, violence, and marginalization of those affected.

Only very recently, disabilities and the impacts of disasters on the disabled started being more seriously and systematically addressed. Disability can prevent people from receiving information, getting safe, and accessing humanitarian aid. While in theory these barriers are commonly recognized, experience shows that individuals with disabilities are often left behind during evacuation due to lack of transport and other logistical facilities and services; struggle to access shelters, camps, and food distribution sites; and are often discriminated against during the whole disaster management cycle. Reduced ability to protect themselves and to develop a proper understanding of situations also put persons with disability at higher risk of sexual violence.

Disasters can also lead to further disability either directly, or indirectly, due to lack of adequate care, poverty, and malnutrition. Disruption of social support services and health care facilities for example may impede people with disabilities and those who have been injured from receiving the treatment they need, and may result in worsened conditions and further disabilities. The great psychosocial distress persons with disability may suffer from is rarely tackled by relief operations and may worsen their already vulnerable condition.

Minorities and Indigenous Groups

Although no universally accepted definition of ‘minority’ exists in international law, the term typically refers to ethnic, religious, and linguistic groups that are smaller in numbers and different from the homogeneous majority in a specific territory. Indigenous people, on the other hand, are those whose social, cultural, and economic conditions distinguish them from other sections of the national community and whose status is regulated wholly or partially by their customs or traditions or by special laws or regulations. Indigenous people are recognized based on their descent from the populations that inhabited the country at the time of conquest or colonization or establishment of present State boundaries.

Natural or man-made disasters can exacerbate the social, cultural, and political challenges minorities and indigenous groups face in ‘normal times’ making them more vulnerable to discrimination and abuses. In the aftermath of disasters, language barriers, lack of identity and other documents stating land, ownership, and inheritance rights may prevent members of these groups from claiming their rights to restitution and reinstatement, and result in homelessness, landlessness, and loss of livelihoods, among others.

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Akibat Bencana dalam Psikologi pada Kelompok Rentan. Semoga bermanfaat.
Universitas Psikologi
Universitas Psikologi Media belajar ilmu psikologi terlengkap yang berisi kumpulan artikel dan tips psikologi terbaru hanya di universitaspsikologi.com | Mari kita belajar psikologi dengan cara yang menyenangkan.

Posting Komentar untuk "Akibat Bencana dalam Psikologi pada Kelompok Rentan"